Monday, October 22, 2007

Pendakian Merapi, 19-20 oktober 2007

Sedikit introduksi,

Gunung Merapi adalah gunung yg terletak di provinsi Jogjakarta dan Jawa Tengah sekaligus. Sangat legendaris karena cerita-cerita dan kemistisannya dan juga mbah maridjan sang juru kunci Merapi yang skrg alih profesi jadi artis iklan jamu, yg kalo udah njeblug bakal sangar banget tuh wedhus gembel yang keluar dari mulutnya, dan yg katanya istananya para Jin.

Ceritanya nih, tgl 17 Oktober VACHERA ngrencanaain buat ndaki gunung legendaris tersebut besok tgl 19 Oktober. Bermodalkan peta buta, coret2an tentang rute perjalanan jogja-selo, dan sedikit nasehat oleh seorang kawan dari THA dan alumni, kami nekat bakal menaklukan gunung ini. Pada awalnya ada 6 orang yang berencana ikut, tetapi seiring dengan waktu, hanya 4 orang lah yang diijinkan untuk mengikuti pendakian kali ini (dan semuanya laki-laki, ya ampuun...) yaitu aku, fikar, kebo, dan mesum (panggilane Sum).

Perjalanan dari Smada...

Tgl 19 Oktober, jam 7 malam. Setelah menunggu seorang Fikar dengan sangat lama dan dibumbui dengan sedikit percekcokan kesalahpahaman antar kawan (byasalah, mesti ada yg telat krn pake waktu WIV, Waktu Indonesia Vachera), kami berangkat dari SMA 2 Jogja tercinta. Untunglah percekcokan tadi sudah dilupakan begitu kita sudah di jalan. Karena hanya bermodalkan coret2an rute hasil telpon 1 ½ jam, kami pun sempat berkali-kali tersesat. Setelah berkali-kali tanya ama orang, akhirnya sampailah di jalan yang benar menuju Selo, tempat base camp merapi. Jalanan menuju Selo sangat lah mengerikan, dengan belokan-belokan yang amat tajam dan monoton, gelap yang amat pekat, lampu motor yang agak redup, dan yang paling parah, kabut. Karena kabut yang menggila, jarak pandang lebih dari 5 meter udah gak kliatan sama sekali, gw hampir aja nabrak pembatas jalan, untung saja si belakangku mringatin suruh belok.

Setelah perjalanan panjang tersebut (dan bolak-balik base camp-tulisan new selo karena ngira klo tulisan New Selo itu base campe-nya), akhirnya sampe juga di base camp yang asli jam 10 malem. Karena belom sempet Isya, kami bertanya pada para mapala2 laen di mana arah kiblat (sekedar celoteh, kami adalah yang paling muda di antara mereka) dan mendapat jawaban2 yang sangat mengejutkan.

a. Om2 muka semrawut yang lagi bacot2 sama kelompok mapala-nya :

“Wuah, saya sudah lama nggak sholat mas, tanya tu lo sama mbak2 yang krudungan di depan tadi, mungkin tau”, trus ketawa-ketiwi nglanjutin bacotnya

Astoghfirulloh... batinku.

b. Mbak-mbak kerudungan yang lagi siap2 mo ndaki :

“Nggg.... dimana ya....”

Duh... sholat nggak mbak??

c. Mas-mas dari Depok

“Gini lo mas, klo sholat di gunung tuh gampang aja cari kiblatnya, tinggal jangan ngadep gunung aja, ngadepnya sama daerah yang bukan gunung, beda klo di rimba, itu baru bingung. Makannya godaannya besar klo di gunung buat gak sholat..”

Ooohh... ilmu baru nih, thanks om, nanti gua cari hadist-nya..

Akhirnya kita2 sholat sesuai apa yang ditunjukan oleh mas2 tadi, ngadep daerah lapang di samping gunung. Kita sholat di luar karena di dalem udah sumpek dan yg punya base camp udah tidur. Peduli amat ama orang2 yg lihat, kita tetep pede aja sholat. Asyhadubi’ana muslimun,, saksilah aku seorang muslim, brow! (ceilee...)

Pendakian di mulai...

Jam 11 malem,

Setelah ritual vachera uhuy, kami pun mulai mendaki. Di perjalanan awal, kami melewati New Selo (lagi, soale td udah nyasar sampe situ). Sebuah gardu pandang skaligus joglo dengan tulisan New Selo di atas warung2 yg mirip2 ama tulisan Holywood di amrik sono. Mungkin ini Holywood-nye merapi, tempat mbah maridjan latian akting iklan jamu, hehe.. sori mbah! Dari New Selo tadi, kita bisa liat ciamiknya gunung merbabu di seberang sono.

Seperti biasa, perjalanan2 awal adalah bagian paling menyebalkan dari mendaki gunung. Otot2 yg kaget mbikin kita jadi pusing2 dan sakit. Temenku aja nyampe pegel2 boyok-nya (opo kuwi boso indonesiane? Mboh ra dong). Untung setelah beberapa menit mendaki, otot kita sudah terbiasa sehingga perjalanan lebih bisa dinikmati.

Rute perjalan pada awalnya adalah jalan setapak yang lumayan landai, dengan tanah yang berdebu dan tidak ada tempat untuk pijakan

tangan karena luasnya jalan. Langit yang cerah memungkinkan kami untuk melihat pemandangan yang menakjubkan Lampu-lampu kota di bawah merapi terlihat sangat indah, bagai kaca raksasa yang memantulkan pemandangan bintang-bintang di angkasa. Gunung Merbabu yang berada di seberang terlihat menatang kami untuk didaki. Indah sekali pemandangan malam itu.

Beberapa menit selanjutnya, kami menemukan sebuah percabangan jalan. Kami sempat bingung karena belum pernah mendaki gunung ini sebelumnya. Beruntung di coret2an yang kami bawa disebutkan suruh lewat kiri. Awalnya kami agak nggak yakin, tapi karena udah gak ada pilihan, kami lewat aja jalan tersebut. Jalannya agak aneh, ada 3 pohon tumbang yang untuk melewatinya harus nrobos-nrobos. Agak sulit karena kami bawa tas-tas yang gede. Baru saya tahu klo ini namanya jalur kartini setelah beli stiker merapi waktu pulang. Kalo lewat kanan namanya jalur alternatif. Sama aja nanti nyambungnya di jalan yang sama.

Setelah sampai di ujung percabangan tadi, rute pendakian berubah tajam. Jalan yang harus dilalui adalah jalanan yang penuh dengan batu-batuan dan ngetrek. Sulit sekali melewatinya, tapi kata om2 yang ketemu di jalan, ini masih belum sebebrapa dibanding jalanan sebelum puncak garuda, puncak tertinggi + terkerennya merapi. Ya terang aja ente bisa bicara geto, elu pake sepatu bot, senter di kepala, dan peralatan2 yang gw gak tau apa sebutannya, mesti lebih gampang melewatinnya dibandingin ama gw yang cuma pake sendal jepit swalow, pegang senter di tangan, sarung tangan motor, ama kerpus murahan. Beda jauuuh modalnya..

Beberapa jam kemudian kami sempat frustasi. Mana nih pasar bubrah? gak sampe-sampe. Ditambah lagi angin gunung yang menggigit keras dan udara dingin yang sangat mencekik. Kami hampir aja nyerah kalo nggak karena ada om2 yang sejalan dengan kita mberitau klo pasar bubrah udah deket, tinggal lewat batu gede trus belok kanan.

“1 jam lagi kira2” katanya.

Kami pun melanjutkan perjalanan walau raga ini sudah tak mau mengikuti perintah sang otak dan hati ini sudah sangat frustasi. Waktu saat itu menunjukan udah jam 2.30 pagi.

Pukul 3 seperempat kami sampai di watu gajah, batu gede yang dibilangin om2 tadi, (waktu itu aku belom tau namanya watu gajah, asal sebut aja ini daerah batu ginjal, biasalah, vachera suka ganti2 nama seenak udel) dan sempat memutuskan untuk berhenti buat nge-dome, bruntung skali kita ketemu ama rombongan laen yang ngomong klo pasar bubrah udah di depan mata. “tinggal 1 bukit di depan itulo..”. Dengan semangat yang masih tersisa, kami menerukan perjalanan. Semangatt!! Vachera...?? Uhuuyyy!!!!

Jam 4 pagi kurang dikit, akhirnya kami sampai di pasar bubrah. Konon katanya, ini adalah pasar para jin. Menurut om2 yg sempet ceirta di sana, batu-batu besar yang terletak di sini nggak mungkin nggak sengaja ketata kayak gini, batu-batu ini adalah tempat para jin berjualan. Peduli amat, yang penting sekarang tidur. Mata ini udah tinggal 5 watt dan ingin segera untuk menjadikannya 0 watt. Setelah mbangun dome (aku cuma megang senter doank, males nggawe, sori yo dab!), kita pun memutuskan tidur tanpa makan dulu, cuma istirahat minum ama ngemil roti tawar isi biskuit yang biasa

kita sebut sandwich gunung. Alarm distel jam 5 pagi buat liat sunrise.

Puncak Garuda...

Jam 5.30 pagi,

Aku baru aja bangun. Yang laen udah bangun duluan buat liat sunrise, karena aku ngebo terlalu nyenyak, akhirnya aku nggak bisa menikmati sunrise dari awal, cuma dapet sdikit. Huh.. sialan!

Abis menikmati sunrise yg hanya sebentar bagiku, kita bikin mie goreng. Udara sangat dingin dan angin berhembus sangat kencang. Sambil nunggu mie jadi, kita pun berfota-foti ria sambil menikmati pemandangan sekitar yg subhanalloh, indah sangahd!! Top abis!! Gunung merbabu keliatan menantang untuk didaki di seberang sana, batu2an gedhe yg tertata indah, dan puncak garuda yg gagah di depan dome kami menanti untuk ditaklukan.


gawe mie goreng ala gunung

beautiful sunrise from pasar bubrah

di atas itu adalah puncak garuda, terjal sangadh!



Setelah puas fota-foti, kami pun makan. Ternyata Kebo rada eror waktu bikin mie tadi. Dia masukin 7 mie sekaligus, padal cuma ada 4 orang. Mana mie-nya macem2 pula, dari mi goreng indofood, mi sedap, sampe mi kare dimasukin sekaligus beserta bumbunya. Terang aja rasanya agak mbutek-mbutek gimana..gitu. Walo makanan sama sekali tidak menjanjikan seperti ini, karna ini gunung jadi apa boleh buat, makanan separah apapun tetap kita makan. Tapi karna rasanya yg bener-bener parah, jadi ng

gak habis mie-nya. “Daripada mubadzir, kita jadiin pupuk aja bwat tumbuhan2 disini”, kata seseorang dari kami (lupa gw sapa). Akhirnya kami buang mie tadi di tanaman dekat dome kami. Sama aja mubadzir dodol!

Jam udah menunjukan pukul 6 pagi. Setelah berunding dan ngliat dome tetangga yg lagi berunding juga bwat mutusin apa mo naik ke puncak ato nggak karena udah jam sgini, kami mutusin untuk naik. Itu pun di ambil setelah dome sebelah juga mutusin buat naik. Kesimpulannya, kami nyontek keputusan mereka. Maklum, pertama kali.

Menurut cerita dari om2 dari Depok yang gw temui di bawah tadi, kita harus agak waspada di Merapi, apalagi klo muncak soalnya jam 8 lebih kabut bakal naik dan asep belerang dari kawah di puncak garuda bakal keluar menggila. Maka dari itu kami agak was-was dikit.

Dilandasi semangat nekat dan ada temen dari rombongan laen yang ikut muncak, kita pun berangkat. “Ada yg nemenin klo ada apa-apa” gitu kata si Sum yang lebih senior dari yg laen, maklum udah kelas XII sedangkan kami baru kelas XI. Sebelum perjalanan, kami sempet ketemu ama turis dari luar negri, ada 3 klo gak salah waktu itu, mereka ditemenin ama guide2 yang senyam-senyum dewe mikirin brapa duit yg bakal diterima nanti. Salut lah sama turis yg rela jauh2 ke Indonesia cuma buat naik merapi.

Perjalanan ke puncak sangat gila. Bener kata om2 perlengkapan menggila kemaren. Jalanannya cuma batu-batuan yang sangat terjal, licin, dan gampang runtuh. Kami mendaki dengan hati-hati. Angin dingin terus menggigit kami tapi semangat untuk menaklukan puncak garuda gak bakal mati. Di perjalanan kami sempat ngelihat beberapa batuan di atas yang bentuknya kayak binatang. Ada yang kayak burung emprit (sebenernya lebih mirip ama garuda), kepala beo (lebih mirip elang), ama kepala kadal (yg ini bener2 mirip kadal). Jadi kayak ada patung kebun binatang di sekitar puncak.

Kira2 45 menit kami berjalan, kami ketemu ama sebuah kawah. Sebenernya nama aslinya Kawah Mati, tapi karna kami seenaknya aja kasih nama, akhirnya kami panggil aja kawah itu Kawah I © SOFIA karna ada tulisan kyk gitu di bawah sana. Niat banget tuh yg nulis kyk gitu coz kawahnya curam banget. Klo aku sih mungkin gak brani ke bawah sana. Takut gak bisa naek lagi nanti, hehe. Kami sempet foto bareng ama rombongan laen yg kami contek keputusannya tadi. Ternyata orangnya asik2. Kami sempet ngocol bareng ama mereka.

Perjalanan pun dilanjutkan. Ditemani oleh serombongan tadi dan 2 orang om2 dari Depok, kami nglanjutin perjalanan. Di tengah jalan kami ketemu ama pendaki laen. Mereka bilang klo kawah di atas udah gak karuan, asepnya udah mulai tebel, jangan naik lagi, bahaya.

“Jangan naik kesana, bahaya, aku nggak mau kayak Gie”, katanya.

Tapi dasar otak udah nggak waras, kami pun tetep naik ke atas. Walo jujur aku rada was-was waktu itu. Beberapa menit kami berjalanan, akhirnya kami sampai di puncak garuda, tapi dasar seenaknya lagi, kami namai aja puncak emprit soalnya lebih mirip emprit ketimbang garuda, dasar bego!

Bener aja, kawahnya sudah mengeluarkan asap yang sangat tebal. Bau belerang sangat menyengat jadi kami memakai slayer dan kerpus untuk nutup hidung byar gak kehirup. Di puncak hanya beberapa menit karena takut kayak Gie, mati di puncak karena asap beracun. Kami cuma sempet ngambil beberapa foto karena takut klo ada apa-apa. Gobloknya, di salah satu pose foto, gw malah ngelepas kerpusku sehingga dengan sukses saya menghirup asap belerang lumayan banyak. Awalnya sih nggak kerasa apa-apa, jadi gw tenang-tenang aja.

5 menit kemudian kami turun karena udah nggak mungkin lagi berada di sana. Kabut mulai naik dan asap mulai turun. Bener-bener sensasional situasi waktu itu. Di perjalanan turun kami melihat ke bawah. Kabut-kabut yang naik benar-benar indah, kayak naga yang mengelilingi puncak garuda ini. Keren banget. Di tambah rasa mantabh dan puas karena berhasil menaklukan Merapi, gunung yang sangat legendaris ini. Merapi memang menakjubkan!

Di tengah perjalanan turun dari puncak, saya sempat ngobrol dengan 2 orang om2 dari Depok yang ternyata udah kerja. Kata mereka sih, mereka itu estafet dari merbabu langsung tancap ke merapi tanpa direncanakan. Hanya karna salah satu dari blom pernah naik merapi, trus langsung aja cabut ke sini. Terang aja mereka kekurangan logistik shg harus nyari2 warung buat beli bekal. Mereka mulai naik jam ½ 2 pagi, tanpa ngedome langsung tancap ke puncak. Edhan pisan oy! Mereka juga udah naklukin banyak gunung di Indonesia termasuk gunung impian saya, Semeru. Gila, hebat banget! Kagum aku ama om2 ini.

Perjalanan turun ternyata lebih mengerikan. Hampir aja om2 dari Depok tadi kena stonefall. Untung dipringatin ama temen2. Jalanan yg terjal membuat dan bebatuan membuat kami lebih waspada. Seiring kami ngobrol dgn temen2 rombongan laen, ngambil batu2an yg critanya buat jadi oleh2 dan diberikan kepada cempe tersayang, dan banyak bercanda serta fota-foti gak jelas, tak terasa kami sudah sampai di pasar bubrah lagi.

Jam 8 pagi, kami sholat Subuh. Katanya Fikar sih di gunung itu bisa aja sholat jam 8 karena faktor matahari. Nggak tau bener apa nggak tapi setidaknya kita sholat Subuh. Seperti di bawah tadi, kita jadi perhatian orang2. Peduli amat dgn pandangan orang laen, kita tetep sholat!

Di sekitar tempat kami sholat ternyata adalah makam2 para pendaki yg meninggal di sini dan tidak bisa di bawa pulang, jadi mereka dikuburkan di sini. Makam itu dinisani dgn batu yg disusun kyk piramid, ada yg dinamain ada jg yang nggak. Ada perasaan yg tak bisa diungkapkan melihatnya. Saya bersyukur masih bisa menuliskan posting kali ini.

Perjalanan turun...

Jam 9 pagi kami membereskan dome, membakar sampah2 yg kami hasilkan, dan packing terakhir untuk turun gunung. Efek dari belerang tadi baru terasa sekarang. Rasa pusing, mual, disertai batuk-batuk menyerang diriku. Rasanya badan ini sudah tidak kuat lagi untuk pulang. Tapi gw harus maksa diri untuk turun gunung buat pulang ke rumah tercinta. Alhasil perjalanan turun menjadi terhambat gara2 gw. Sori yo brow!

Untunglah di tengah perjalanan penyakit ini sudah mulai meringan walau belum hilang sebelumnya. Gw sempet merhatiin jalanan yg gw lalui semalem. Aku berpikir, ternyata kita gendeng banget. Bisa-bisannya ngelwati jalanan yg parah kayak gini. Haha.

Perjalanan dilanjutkan dengan beberapa kali istirahat dan disuguhi pemandangan yang sangat indah. Kami sempat putus asa melihat rumah2 di bawah masih sangat kecil sedangkan perjalanan masih panjang.

3 jam lebih kami telah sampai di New Selo lagi. Keadaan di sana berbeda 180’ dibandingkan kemarin. Suasana di sana rame banget, gw baru tau klo ini tempat pariwisata. Dengan pede kami ngambil foto ditengah suasana rame di sana walo tubuh ini udah kotor gak karuan dan badan ini pegel2.

Setelah puas foto2, beli es teh dan stiker, serta ngliat cewek2 yg bening (maklum, 2 hari di gunung nggak ada cewek cantik kayak gini), kami pun pulang ke smada. Seharusnya ceritanya selese sampe sini tapi ternyata kami menemukan hal menarik waktu mo sholat dzuhur di mesjid deket base camp (baru sadar ada mesjid skrg, kmrn gak tau). Kami menemukan sebuah.... (maaf) kondom dan tali BH di sana. Masyaallah.. Ini mesjid apa????!!! Walo gitu, kami tetep sholat di sana, terpaksa karna nggak tau mesjid laen dan udah kepalang tanggung coz udah wudhu.

Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Ternyata pemandangan sewaktu perjalanan pulang yang tak sempat saya saksikan waktu berangkat sangat-sangat menakjubkan. Kami berjalan di antar 2 gunung, kiri merapi dan kanan merbabu. Puncak dari masing2 gunung seharusnya terlihat, tetapi gara2 awan yang sudah naik jadi ketutupan. Tetapi walau begitu tetaplah sangat indah... pantes banyak yg pacaran di sisi2 jalan. Heuheuhe...

Setelah itu...

ZzZZzzzZZzzzz.....

Cukup, saya sudah tidur di perjalanan pulang. Tidur sambil nyetir motor.

1 comment:

Anonymous said...

Haloo...kamu dari Vachera ya..
apa kabarnya Vachera. Saya dulu juga dari Vachera angkatn 92. Besok Oktober 2008 ini insyaallah saya kembali ke merapi.

salam
Kuncoung Vachera.